Ada sepasang manusia yang entah bagaimana, mereka bisa berpacaran. Kata orang, jodoh itu di tangan Tuhan. Dan kata lirik lagu, jodoh pasti bertemu. Tetapi tetap saja, segalanya membutuhkan usaha. Termasuk kesabaran akan karakter dan kebiasaan pacar kita sendiri..
“Sorry ya, aku telat..”
Kini, sudah kesekian kalinya Seokjin mengulangi hal yang sama. Tukang telat. Kata itu adalah sebutan yang paling cocok untuknya yang sering datang dengan tidak tepat waktu. Jinnie yang sudah lama menunggunya pun hampir lumutan dibuatnya. Hh~ Lebih baik Jinnie pacaran dengan tukang sayur saja daripada tukang telat begini..
Padahal Seokjin sendiri yang membuat janji untuk bertemu, tetapi tetap saja dia datangnya terlambat. Alasan ini, alasan itu, semua alasan sudah ia sebutkan satu persatu pada Jinnie. Lama-lama, Jinnie pun mulai muak dibuatnya hingga ia ingin menggeplak Seokjin dengan UFO dan melemparinya dengan setumpuk kulit durian!
“Percuma kamu pakai jam tangan dan punya jam dinding di rumah, ternyata tetap aja gak berubah. Hidup kamu tuh pakai waktu atau nggak, sih? Kamu sendiri yang buat janji, malah kamu yang telat!” Jinnie menghela nafasnya kesal. Ia menaruh tangannya di pinggang sambil menatap kesal ke arah Seokjin, pacarnya yang tukang sayur- eh, tukang telat.
“Sejak kapan aku hidup pakai waktu? Aku hidup pakai nyawa lah, sayang..” sahut Seokjin santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong teh- eh kantong celananya.
Jinnie lalu melongo. Sepertinya tekanan darah Jinnie mulai naik sekarang. “Duh, susah ya ngomong sama orang yang susah berubah kayak kamu.”
“Gimana mau berubah? Memangnya aku power ranger?”
“Astaga! Boleh makan orang gak, sih?!” celetuk Jinnie pada dirinya sendiri. Nada suaranya mulai meninggi karena sudah kesal tingkat dewa pada Seokjin.
“Loh, kamu mau jadi kanibal?” Seokjin mengangkat kedua alisnya sambil melihat Jinnie dengan heran. Wajahnya agak sok innocent, padahal dia sendiri yang membuat Jinnie kesal.
“Ada kado punya si Mamat, bodo amat! Aku bisa jadi cepat tua kalau terus-terusan pacaran sama kamu!” Jinnie benar-benar sudah geregetan dibuatnya. Untung saja Jinnie masih ingat jika dirinya itu manusia dan masih ada persediaan nasi di rumahnya. Kalau tidak? Bersiaplah untuk Seokjin--
“Kamu gak akan terus-terusan pacaran sama aku, kok.”
Ucapan Seokjin membuat tatapan Jinnie berubah heran. “Hah? Maksud kamu?”
Seokjin tersenyum polos. “Lagi pula, siapa juga yang mau terus-terusan pacaran, kita juga nanti bakal nikah kan, yang?”
Seokjin mengerjapkan sebelah matanya ke arah Jinnie. Terus seperti itu. Lama-kelamaan, ia mulai mengerjapkan kedua matanya berulang kali tanpa henti. Hingga akhirnya Jinnie tersadar kalau Seokjin ternyata sedang kelilipan..
“Duh, yang! Tolong tiup mata aku, dong..” pinta Seokjin yang masih mengerjapkan matanya.
Jinnie pun maju mendekatinya dan meniup-niup mata Seokjin beberapa kali. “Udah, kan?”
Seokjin hanya menganggukkan kepalanya.
“Tapi itu gak seperih hati aku yang selalu nungguin kamu terus tiap kali kita mau ketemu!” Rasa baper Jinnie langsung kambuh. Ia pun meninggalkan Seokjin sendirian di taman tempat mereka bertemu.
“Eh, mau kemana, yang? Jangan tinggalin aku dulu! Kalau nanti aku dibawa kabur sama alien, gimana?” Seru Seokjin sedikit berteriak karena jarak mereka yang mulai menjauh.
Jinnie berbalik, “Biar aja. Bodo amat! Kamu gak bakal disakiti sama mereka, kan kamu saudaranya? Paling diajak kawin aja,” Ia kembali melanjutkan jalannya dan tidak memedulikan Seokjin lagi.
“Tapi aku maunya sama kamu lah, Jinnie!” Seokjin berteriak lebih kencang dengan sepenuh hati seperti memelihara kedelai hitam yang berkualitas- eh?
Jinnie hanya menghiraukannya. Ia tetap berjalan pergi hingga tubuhnya menghilang dari pandangan Seokjin.
Sementara, Seokjin masih berdiri di tempatnya. Meratapi nasibnya bak jomblo yang digentayangi rasa kesedihan yang amat besar dan begitu dalam -- sebesar biji ketumbar dan sedalam rumah semut. Dan akhirnya, Seokjin pun jatuh berlutut, kepalanya tertunduk dan wajahnya terlihat seperti masa depannya, yaitu suram.
Tanpa ia sadari, tetesan-tetesan air kini mengenai permukaan kulitnya dan mulai mengalir seperti sungai kecil. Ia merasa jika langit kini mendukung kegalauan perasaannya. Beruntung, langit memberikan berkah hujan air padanya, bukan hujan batu bata ataupun meteor.
Seokjin lalu berdiri dan masih terdiam, matanya terpejam begitu dalam. Pikirannya kalut, sedih, kecewa, dan semuanya bercampur ria menjadi satu seperti adonan kue. Ia pun menghirup nafas pelan namun panjang. Lalu setelah beberapa detik, ia tercekat karena mendengar sebuah suara yang cukup menggelegar membelah gendang telinganya. Suara tersebut benar-benar membuyarkan suasana dramatisnya sekarang yang sudah seperti film India.
“WOI NGAPAIN MASIH DIAM DISANA? GAK TAU APA ORANG LAGI NYIRAM TANEMAN? BELUM MANDI, YA? SINI SAYA MANDIIN SEKALIAN BIAR JODOHNYA BALIK LAGI!” Teriak seorang mas-mas yang sedang memegang selang dengan dialiri air yang cipratannya masih mengenai tubuh Seokjin.
Seokjin pun kaget dibuatnya. Ia akhirnya tersadar dan langsung lari ke dalam semak-semak.
Komentar
Posting Komentar